Before we start, I’d like to address few things: This blog is created to be universally accessed that’s why I use English more. However, for today’s topic is going to be written especially for my fellow Indonesian stay-at-home wives so the POV may not fit to the mindset of, culturally speaking, others in the west. With that in mind, I will go on in the topic using bahasa Indonesia (which you can use google translate to understand, if you wish to).
Sebagai seorang wanita dan seorang istri, saya sudah melewati berbagai fase mulai dari istri yang berkarir lalu menjadi ibu rumah tangga penuh tanpa bekerja, kemudian balik bekerja kantoran lagi, sampai kemudian menjalankan beberapa pekerjaan yang bisa dikerjakan dari mana saja sehingga saya bisa tetap berpenghasilan walau tanpa ngantor.
Awalnya saya sangat berkeyakinan bahwa seorang wanita walau sudah menikah harus banget punya penghasilan sendiri. Ada pengaruh pemikiran yang ditanamkan oleh ibu saya di sana, yang menjadi seorang ibu tunggal sejak ayah saya meninggal saat saya kecil. Saya pun menyadari saya cukup beruntung karena ibu saya adalah ibu bekerja maka walau ayah sudah tidak ada saya tidak pernah merasa kekurangan.
Kenapa sih seorang istri harus punya penghasilan sendiri?
Kalau saya pikir-pikir, ini adalah buah dari kekhawatiran akan masa depan yang kelam andai sesuatu terjadi di tengah jalan. Seperti pengalaman ibu saya, berpisah dunia, atau seperti yang banyak terjadi di sekitar kita di mana suami tiba-tiba sakit dan tidak bisa bekerja lagi.
Bagaimana nasib hidup selanjutnya jika pencari nafkah utama “hilang”?. Belum lagi ada risiko pelakor yang cukup mengganas, apa yang terjadi jika harus berpisah?
Dari sudut pandang ini akhirnya ide bahwa istri harus bekerja atau berpenghasilan sendiri menjadi sebuah slogan perjuangan, yang kadang-kadang pada orang-orang tertentu menimbulkan sikap superior, merasa lebih baik lalu mengecilkan istri-istri yang full menjadi ibu rumah tangga tidak bekerja.
Tapi.. setelah saya terjun di dunia keuangan dan aktif dalam industri asuransi, saya menyadari bahwa jawaban akan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut bukan mutlak bahwa istri harus bekerja.
Ternyata, daripada istri bekerja, hal yang paling penting dan paling urgent menurut saya adalah istri harus memiliki literasi keuangan yang baik. Bukan hanya tentang bagaimana mengatur anggaran rumah tangga dan cash flow, tapi juga melek investasi dan asuransi. Lalu minimal juga paham mengenai hukum harta bersama dalam perkawinan dan hukum waris.
Tidak perlu yang terlalu jelimet, paham beberapa hal tersebut di atas saja sudah cukup untuk kita membuat perencanaan keuangan yang mampu menjadi solusi bertahan jika terjadi risiko-risiko seperti suami sakit, meninggal dunia atau perpisahan.
5 Hal Sederhana Mengatur Keuangan Keluarga Sebagai Istri Tidak Bekerja
- Wajib punya uang nafkah yang berbeda dengan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Uang ini, berapa pun nilainya, bebas digunakan untuk keperluan sendiri.
- Membuat anggaran bulanan, di mana uang nafkah istri sudah masuk di situ. Jadi dalam anggaran ada uang pribadi untuk istri dan ada uang pribadi untuk suami, di luar uang kebutuhan hari-hari.
- Harus ada transparansi keuangan antara suami istri dan mendiskusikan segala keputusan keuangan bersama.
- Buka akun investasi sendiri dan bangun tabungan sendiri agar uangmu pun bisa berlipat ganda walau tanpa bekerja.
- Belikan asuransi untuk suami, karena sebagai pencari nafkah utama penghasilannya harus terproteksi. Jika terjadi sakit atau meninggal dunia, yang mengakibatkan penghasilannya berhenti, ada uang dari asuransi yang bisa digunakan untuk melanjutkan hidup.
Sebuah Catatan Penting
Ingatlah bahwa harta yang didapatkan dalam perkawinan akan menjadi harta bersama, yang harus dibagi jika terjadi perceraian. Harta tersebut juga tunduk pada hukum waris yang harus dibagi sesuai hukum yang berlaku jika terjadi kematian. Sebagai istri yang cermat, asuransi jiwa menjadi solusi terbaik untuk menjaga kelangsungan hidup karena tidak tunduk pada hukum waris sehingga tidak dapat diganggu gugat untuk dibagi.
Kalau sudah terpenuhi semua, apakah boleh bekerja?
Ya boleh saja menurutku. Akan lebih menyenangkan kalau istri bekerja hanya untuk aktualisasi diri dan bukannya demi memenuhi kebutuhan sendiri, ya kan?

Leave a comment